JATENG.NET — Hukum humaniter internasional (HHI) adalah seperangkat aturan yang bertujuan untuk melindungi individu yang tidak terlibat dalam konflik bersenjata dan membatasi cara-cara peperangan yang dilakukan. Prinsip dasar dari hukum ini adalah melindungi martabat manusia dan mengurangi penderitaan yang disebabkan oleh perang.
HHI bertujuan untuk memberikan perlindungan kepada penduduk sipil, tawanan perang, serta korban perang lainnya, sekaligus membatasi cara-cara penggunaan kekerasan dalam peperangan.
Artikel ini akan membahas penerapan HHI dalam konteks perang modern, dengan menyoroti tantangan yang dihadapi dalam implementasinya serta relevansi prinsip-prinsip hukum tersebut dalam menghadapi perkembangan peperangan yang semakin kompleks.
Teori dan Dasar Hukum Hukum Humaniter Internasional
HHI memiliki dasar hukum yang sangat kuat dan diakui secara internasional, terutama melalui Konvensi Jenewa 1949 dan protokol-protokol tambahannya. Konvensi ini berisi aturan-aturan dasar mengenai perlindungan terhadap korban perang, baik itu prajurit yang terluka atau tertawan, maupun penduduk sipil yang tidak terlibat langsung dalam pertempuran.
Konvensi Jenewa ini mengatur perlindungan terhadap orang yang tidak terlibat langsung dalam pertempuran, dan aturan-aturan yang ada mengatur pengobatan dan perlakuan manusiawi terhadap para prajurit yang terluka, tawanan perang, serta penduduk sipil.
Selain itu, HHI juga didasarkan pada prinsip-prinsip yang terkandung dalam hukum adat internasional. Hukum adat internasional berkembang melalui praktek-praktek negara-negara dan keputusan-keputusan pengadilan internasional.
Prinsip-prinsip dasar HHI yaitu meliputi prinsip kemanusiaan yang diman melarang penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi terhadap individu yang tidak terlibat dalam pertempuran, selanjutnya ada prinsip distingsi yang memisahkan antara kombatan dan non-kombatan serta menegaskan perlindungan terhadap penduduk sipil, selain itu ada prinsip proporsionalitas yang mengharuskan penggunaan kekuatan yang sebanding dengan ancaman yang dihadapi dan mencegah penggunaan kekuatan yang berlebihan.
Terakhir ada prinsip perlindungan terhadap objek sipil yang menjamin perlindungan terhadap tempat-tempat penting, seperti rumah sakit, sekolah, dan infrastruktur publik, dari serangan langsung.
Hukum Humaniter Internasional dalam Perang Modern
Perang modern semakin kompleks seiring dengan kemajuan teknologi dan strategi perang yang lebih canggih. Penggunaan drone, serangan siber, dan peperangan melalui media sosial adalah contoh-contoh baru dalam peperangan yang sering kali menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana prinsip-prinsip HHI diterapkan.
Teknologi baru ini memberikan keuntungan strategis bagi negara-negara yang terlibat dalam konflik, namun juga membawa tantangan besar terkait pelanggaran prinsip-prinsip HHI.
Misalnya, penggunaan drone dalam serangan militer menimbulkan perdebatan mengenai prinsip distingsi dan proporsionalitas. Penggunaan drone memungkinkan serangan yang sangat tepat terhadap individu atau kelompok teroris, tetapi sering kali mengakibatkan korban sipil yang tak terhindarkan. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai bagaimana HHI menilai tindakan semacam ini.
Apakah serangan yang menargetkan kelompok teroris namun mengorbankan penduduk sipil dapat dibenarkan jika dilihat dari sudut pandang HHI? Prinsip proporsionalitas akan mengharuskan negara yang melakukan serangan untuk menilai apakah manfaat dari serangan tersebut sebanding dengan kerugian yang diderita oleh warga sipil.
Selain itu, perang siber semakin sering digunakan dalam konflik modern, menambah kompleksitas penerapan HHI. Serangan terhadap infrastruktur penting, seperti sistem komunikasi atau jaringan listrik yang digunakan oleh penduduk sipil, dapat mengakibatkan kerusakan luas.
Misalnya, serangan siber yang menyebabkan gangguan besar pada sistem distribusi air atau listrik akan berdampak langsung pada kehidupan sipil yang tidak terlibat dalam peperangan. Hal ini menimbulkan pertanyaan serius tentang apakah serangan semacam ini dapat dibenarkan berdasarkan prinsip perlindungan objek sipil dalam HHI. Dalam banyak kasus, serangan siber yang menyerang sistem penting untuk kehidupan sipil dapat dianggap sebagai pelanggaran HHI yang jelas.
Kasus: Konflik di Suriah
Konflik Suriah adalah contoh nyata penerapan HHI dalam perang modern yang dapat dilihat sebagai gambaran dari pelanggaran terhadap prinsip-prinsip dasar HHI.
Selama lebih dari satu dekade, berbagai pihak yang terlibat dalam konflik ini, baik pasukan pemerintah, kelompok pemberontak, maupun pasukan asing, sering kali melanggar prinsip-prinsip HHI.
Penyerangan terhadap rumah sakit, pembunuhan terhadap penduduk sipil, serta penggunaan senjata kimia telah menimbulkan banyak korban jiwa yang tidak terlibat langsung dalam pertempuran.
Pelanggaran terhadap prinsip distingsi dan proporsionalitas sangat jelas dalam kasus ini. Pasukan pemerintah Suriah, misalnya, sering kali melakukan serangan udara terhadap daerah-daerah yang padat penduduk, mengakibatkan banyaknya korban jiwa di kalangan sipil.
Serangan tersebut jelas bertentangan dengan ketentuan dalam Konvensi Jenewa yang mengharuskan semua pihak untuk membedakan antara kombatan dan non-kombatan, serta untuk memastikan bahwa kekuatan yang digunakan tidak berlebihan dan sebanding dengan ancaman yang dihadapi.
Selain itu, penggunaan senjata kimia oleh pasukan pemerintah, seperti yang terjadi pada serangan di Ghouta pada 2013, juga merupakan pelanggaran berat terhadap HHI, karena senjata kimia dilarang keras oleh hukum internasional.
Tantangan dalam Penerapan Hukum Humaniter Internasional
Meskipun HHI dirancang untuk melindungi kemanusiaan di tengah peperangan, penerapannya sering kali terbentur pada kenyataan di lapangan.
Salah satu tantangan terbesar adalah penegakan hukum. Negara-negara yang terlibat dalam konflik sering kali tidak merasa terikat oleh kewajiban internasional, atau mereka menganggap bahwa tindakan mereka sah berdasarkan klaim-klaim politik atau militer. Selain itu, kurangnya mekanisme pengawasan yang efektif menjadi masalah besar.
Banyak pelanggaran HHI terjadi tanpa mendapat hukuman yang setimpal, dan pelaku-pelaku pelanggaran sering kali tidak diadili di pengadilan internasional.
Pengadilan Kriminal Internasional (ICC), yang memiliki peran penting dalam menegakkan hukum internasional, hanya memiliki yurisdiksi terhadap negara-negara yang meratifikasi Statuta Roma.
Banyak negara besar, termasuk beberapa negara anggota Dewan Keamanan PBB, enggan untuk bergabung dengan ICC karena alasan politik. Hal ini semakin memperburuk ketidakmampuan untuk menegakkan hukum humaniter internasional secara efektif.
Kesimpulan
Hukum humaniter internasional tetap memiliki relevansi besar dalam perang modern, meskipun banyak tantangan yang dihadapi dalam penerapannya. Penggunaan teknologi baru seperti drone, perang siber, serta konflik yang melibatkan berbagai pihak dengan kepentingan yang saling bertentangan sering kali menyulitkan penegakan prinsip-prinsip HHI.
Kasus-kasus seperti konflik Suriah menegaskan pentingnya memperkuat mekanisme penegakan hukum dan meningkatkan kesadaran tentang kewajiban internasional dalam menjaga perlindungan terhadap warga sipil dan korban perang lainnya.
Namun, tantangan ini tidak seharusnya mengurangi urgensi untuk melindungi prinsip-prinsip dasar HHI. Negara-negara yang terlibat dalam konflik harus dipastikan untuk mematuhi kewajiban internasional mereka, dan pelanggaran terhadap HHI harus dihukum dengan tegas.
Penguatan sistem pengawasan, peningkatan partisipasi negara-negara dalam pengadilan internasional, dan peningkatan pendidikan mengenai HHI adalah langkah penting untuk memastikan bahwa kemanusiaan tetap terlindungi, meskipun di tengah kekerasan perang yang tak terhindarkan.
Dengan demikian, HHI harus terus diperbaharui dan disesuaikan dengan tantangan yang ada untuk memastikan bahwa peperangan tidak mengorbankan martabat manusia.
Penulis: Ananda Merlyna Anggraini, Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang
Editor: Nur Ardi, Tim Jateng.net