JATENG.NET, Yogyakarta — Di tengah arus modernitas dan kemajuan teknologi yang kian mempercepat segalanya, kemalasan berpikir justru menjadi wabah baru di kalangan mahasiswa. Namun di antara hiruk-pikuk dunia digital dan budaya instan, sosok Mas Guntur, dosen filsafat komunikasi di Universitas Mercu Buana Yogyakarta, hadir sebagai pengingat bahwa berpikir kritis bukan hanya tugas intelektual, melainkan sebuah gaya hidup. Ia bukan sekadar pengajar teori, tetapi penyalakan logika di ruang kelas mendorong mahasiswanya untuk berpikir, meragukan, bahkan mempertanyakan kembali kebenaran yang selama ini diterima begitu saja.
Filsafat yang Menghidupkan Diri dan Pikiran
Ketertarikan Mas Guntur terhadap filsafat dimulai sejak masa SMA, ketika tanpa sengaja ia menemukan buku kecil berjudul Filsafat Manusia terbitan Kanisius. Buku itu menjadi titik balik dalam hidupnya. “Awalnya cuma buat gaya,” kenangnya sambil tersenyum, “tapi lama-lama pertanyaannya mengusik: siapa manusia, siapa aku, untuk apa kita hidup?”
Dari sekadar simbol gengsi membawa buku biru itu ke kampus, muncul hasrat untuk memahami dunia lewat pertanyaan-pertanyaan mendasar. Ia mengaku bahwa pada masa itu, filsafat bukanlah bidang yang populer. Namun justru karena dianggap rumit dan jarang dibahas, ia tertarik untuk mendalaminya. “Saya enggak mau melakukan hal yang sudah umum. Kalau orang lain memilih jalan ramai, saya justru ingin menelusuri jalan yang sepi,” ujarnya.
Filsafat baginya bukan semata teori, tetapi cermin untuk memahami diri. Ia banyak dipengaruhi oleh pemikiran Jürgen Habermas dengan teori kritisnya, Karl Marx dengan gagasan materialisme dialektika, serta Jacques Derrida dengan dekonstruksi pemikiran postmodern. Dari ketiganya, ia belajar bahwa berpikir kritis adalah tindakan pembebasan melawan kemapanan cara berpikir yang membelenggu manusia.
Mengajar dengan Logika untuk Berdialog Dengan Mahasiswa
Dalam mengajar, Mas Guntur tidak hanya menyampaikan materi. Ia lebih suka menyalakan logika mahasiswanya dengan menggunakan Dialog berupa pertanyaan-pertanyaan yang “menggelisahkan.” Bagi mas Guntur, kelas bukan ruang monolog, tetapi arena berpikir bersama. “Mahasiswa yang belajar filsafat harus siap muntah,” ujarnya berkelakar. “Karena pikiran mereka akan dibalik, diputar, dan dipertanyakan ulang sampai mereka sadar bahwa kebenaran itu tidak tunggal.”
Ia menolak sistem pendidikan yang hanya menuntut afirmasi mahasiswa harus setuju dengan dosen agar dianggap pintar. “Saya lebih menghargai mahasiswa yang berbeda pendapat tapi bisa bertanggung jawab atas argumennya,” jelasnya. Prinsipnya sederhana: salah boleh, tapi bohong jangan.
Dalam setiap kelas, ia berusaha menciptakan ruang egaliter antara dosen dan mahasiswa. “Saya enggak ingin diposisikan lebih tinggi. Kita sama-sama manusia pembelajar yang sedang belajar untuk menjadi baik dan benar,” katanya. Filosofi itu membuat suasana belajarnya hidup bukan hanya soal teori, tetapi juga proses saling memahami makna kemanusiaan.
Filsafat Sebagai Laku Hidup
Bagi Mas Guntur, filsafat bukan sekadar mata kuliah, tapi cara hidup. “Saya ingin mahasiswa sadar bahwa berpikir itu latihan moral,” ujarnya. Ia percaya bahwa belajar bukan untuk mengejar nilai atau gengsi akademik, melainkan untuk menemukan makna dan kebenaran. “Belajarlah bukan hanya untuk menjadi benar, tapi juga untuk menjadi baik,” pesannya.
Nilai “kebaikan” yang ia maksud bukan konsep abstrak. Ia menjelaskannya dengan sederhana: kebaikan berarti apa yang kita pelajari membawa manfaat bagi orang lain, bagi alam, dan bagi semesta, bukan hanya untuk diri sendiri. “Kalau kamu pintar tapi jahat pada orang lain, kamu belum jadi manusia,” ujarnya dengan nada yang tegas.
Tak jarang, pandangan ini membuat mahasiswanya terinspirasi untuk melihat kehidupan lebih luas. Ia mengajarkan bahwa berpikir kritis tidak sama dengan melawan, melainkan memahami dengan sadar. Filsafat, bagi dia, harus “membumi” menjadi pedoman untuk bertindak dan berempati.
Musik dan Keindahan Berpikir
Di luar kelas, Mas Guntur dikenal aktif bermusik. Ia menulis lagu-lagu bertema kritik sosial dan humanisme, sebuah cara lain untuk menyalurkan gagasan filsafatnya. “Hidup tanpa musik itu hidup yang tidak layak dihidupi,” katanya mengutip Nietzsche. Musik, baginya, adalah bentuk refleksi cara untuk menjaga keseimbangan antara rasio dan rasa.
Selain musik, ia juga gemar membaca sastra, sejarah, dan ilmu pengetahuan. Baginya, empat hal itu filsafat, sejarah, sastra, dan sains adalah fondasi bagi manusia berpikir. “Kalau kamu membaca filsafat, kamu berpikir logis. Kalau kamu membaca sejarah, kamu tahu asal usul. Kalau kamu membaca sastra, kamu memahami rasa. Kalau kamu mengenal sains, kamu mengerti hukum kehidupan,” tuturnya.
Melawan Budaya Instan
Dalam pandangan Mas Guntur, tantangan terbesar generasi muda hari ini bukan kekurangan informasi, tapi kemalasan berpikir. Teknologi dan media sosial membuat segalanya serba cepat, tapi juga dangkal. “Anak muda sekarang terlalu sering ‘klik aja,’ tapi jarang benar-benar berpikir,” ujarnya.
Ia menyebut fenomena ini sebagai “generasi jenglot” generasi yang pikirannya menyusut karena jarang digunakan. Ia menegaskan pentingnya menjaga jarak kritis terhadap sistem dan budaya konsumtif yang membentuk masyarakat modern. “Kita dibuat pintar agar bisa bekerja dalam sistem, tapi tidak cukup kritis untuk menantang sistem itu sendiri,” katanya.
Melalui kelas filsafat, ia berusaha membangunkan kesadaran itu. Mahasiswa diajak untuk “melawan dengan logika” tidak dalam arti agresif, tetapi dengan kemampuan mempertanyakan realitas dan menemukan kebenaran di balik itu semua.
Menutup wawancara, Mas Guntur menyampaikan pesan sederhana namun mendalam: “Belajarlah bukan hanya untuk menjadi benar, tapi untuk menjadi baik. Jadilah manusia yang memberi kebaikan bagi orang lain, lingkungan, dan semesta.”
Baginya, manusia belum sepenuhnya menjadi manusia jika hanya hidup untuk diri sendiri. Ilmu pengetahuan, seberapa pun tinggi, tidak akan berarti bila tidak membawa manfaat. “Kita belajar supaya menjadi manusia, bukan supaya terlihat pintar,” ujarnya.

Mas Guntur adalah bukti nyata bahwa filsafat tidak harus melangit atau berat dipahami. Ia membawanya turun ke bumi, menjadikannya refleksi harian yang hidup di antara tawa, debat, dan perenungan. Dalam setiap kelas yang ia isi, selalu ada ruang bagi keraguan, keberanian, dan kebebasan berpikir.
Filsafat baginya bukan sekadar pelajaran tentang berpikir kritis tetapi latihan menjadi manusia yang mencintai kebenaran dan kebaikan. Dan di ruang kelasnya, setiap mahasiswa belajar satu hal penting: bahwa berpikir adalah bentuk tertinggi dari mencintai kehidupan.
Narasumber: Mas Guntur – Dosen Filsafat Komunikasi, Universitas Mercu Buana Yogyakarta.
Penulis:
- Delia Bernanda (Universitas Mercu Buana Yogyakarta)
- Aulia Sabrina Larasati (Universitas Mercu Buana Yogyakarta)
- Ema Nayla Zalianty (Universitas Mercu Buana Yogyakarta)
- Nur Afryani (Universitas Mercu Buana Yogyakarta)
- Nabila Hhusna (Universitas Mercu Buana Yogyakarta)
- Deranza Calcia Mahaputra (Universitas Mercu Buana Yogyakarta)
- Julius Dio (Universitas Mercu Buana Yogyakarta)
- Sirajudin Khalid (Universitas Mercu Buana Yogyakarta)
- Stephen Reno Zaldi (Universitas Mercu Buana Yogyakarta)
- Supriyadin (Universitas Mercu Buana Yogyakarta)











