JATENG.NET, BOGOR — Di tengah dinamika zaman yang kian digital, profesi-profesi baru terus bermunculan. Salah satu yang menyita perhatian adalah bug hunter—profesi pemburu celah keamanan sistem digital. Tak sedikit anak muda Indonesia yang berhasil menembus panggung global melalui jalur ini. Salah satunya adalah Rahmadhani Novian Jaya, pemuda 21 tahun asal Sampit, Kalimantan Tengah.
Namanya kini tercatat sebagai Top 10 Bug Hunter Google tingkat nasional, dan peringkat ke-288 secara global dari 1.723 peserta dalam program keamanan Google Vulnerability Reward Program (VRP). Temuan celah keamanan serius seperti Cross-Site Scripting (XSS) dan Content Security Policy (CSP) bypass membuatnya layak menerima penghargaan sebesar Rp170 juta dari Google—sebuah apresiasi atas kontribusinya dalam memperbaiki sistem yang digunakan jutaan orang.
Namun, seiring sorotan publik atas capaian ini, muncul juga pertanyaan dari sebagian masyarakat Muslim: apakah bentuk imbalan semacam ini sesuai dengan hukum syariah? Dan jika ya, bagaimana kerangka fikihnya?
Ji’ālah: Ketika Hukum Islam Bertemu Dunia Teknologi
Dalam fikih muamalah, sistem seperti bug bounty sangat dekat dengan konsep ji’ālah—yakni akad imbalan atas pencapaian suatu hasil tertentu, tanpa kejelasan detail pekerjaan dan siapa pelaksananya di awal. Ji’ālah berbeda dengan ijarah (kontrak kerja), yang mewajibkan kejelasan waktu, upah, dan tugas.
Contoh klasik ji’ālah dapat ditemukan dalam QS. Yusuf ayat 72, ketika para utusan kerajaan berkata:
“Barang siapa yang dapat mengembalikan piala raja, akan mendapatkan satu beban makanan dan aku menjamin hal itu.”
Imam Nawawi dan para fuqaha sepakat bahwa akad seperti ini sah menurut syariat, selama:
- Tujuan kerja atau hasilnya jelas.
- Imbalan diumumkan atau diketahui.
- Tidak melibatkan aktivitas yang diharamkan.
Dalam konteks bug bounty, Google atau perusahaan lain secara terbuka mengumumkan bahwa siapa pun yang berhasil menemukan bug yang valid akan mendapat imbalan. Mekanisme ini sejalan dengan ji’ālah:
- Terbuka untuk siapa saja, bukan kontrak khusus.
- Imbalan bergantung pada keberhasilan menemukan bug.
- Besaran hadiah berdasarkan skala risiko.
Artinya, penghasilan Dhani tergolong rezeki halal dalam pandangan syariat. Bahkan, jika diniatkan untuk memberikan manfaat dan menjaga keamanan digital masyarakat, aktivitasnya memiliki nilai ibadah sosial.
Harta Halal dari Jalur Non-Konvensional
Konsep ji’ālah membuka ruang luas bagi kaum Muslim untuk menjelajahi sumber-sumber penghasilan baru yang sesuai dengan syariat, tanpa harus terpaku pada pekerjaan formal yang bersifat konvensional. Dunia digital yang serba cepat menuntut kita berpikir fleksibel, namun tetap mengakar pada nilai-nilai etik dan spiritual.
Islam sebagai sistem nilai sejatinya tidak kaku dan tidak menolak modernitas. Yang ditolak adalah segala bentuk transaksi yang:
- Mengandung riba (bunga yang menzalimi),
- Gharar (ketidakjelasan atau spekulasi ekstrem),
- Maysir (judi),
- tau melibatkan barang dan jasa haram.
Bug bounty tidak masuk dalam kategori itu. Justru, ia bisa menjadi ladang maslahat yang besar. Dengan niat yang benar, profesi ini dapat menyatukan antara kecakapan teknologi dan ketakwaan.
Di Balik Angka, Ada Etika
Bukan sekadar angka 170 juta rupiah atau gelar Top 10 nasional. Yang lebih penting adalah pesan moral dari kisah Rahmadhani: bahwa kita bisa sukses di dunia modern tanpa meninggalkan nilai-nilai Islam. Bahwa ada jalan halal di tengah pusaran profesi digital yang kerap dianggap abu-abu.
Bagi generasi usia 25–40 tahun yang kini aktif di dunia kerja dan menghadapi tuntutan ekonomi tinggi, penting untuk memahami bahwa Islam bukan penghalang inovasi—melainkan kompas etik. Islam mengajarkan kita untuk tidak hanya mengejar hasil, tapi juga memastikan proses yang ditempuh bernilai berkah.
Penutup: Syariat Itu Relevan
Rahmadhani Novian Jaya adalah representasi anak muda yang tidak hanya cakap teknologi, tapi juga menunjukkan bahwa syariat Islam tetap relevan dan fleksibel menghadapi era digital. Konsep ji’ālah yang telah dikenal sejak masa kenabian, kini menemukan ruang barunya dalam dunia keamanan siber.
Di tangan generasi yang melek ilmu dan agama, hukum Islam tak hanya bisa menjawab tantangan zaman—tapi juga mengarahkannya ke jalan yang benar dan bermartabat.
Penulis: Muhammad Labib, Mahasiswa STMIK Tazkia Bogor, Alumni Pondok Tahfidz Yanbuul Quran Menawan.