Permainan Moneter di Indonesia dalam Perspektif Ekonomi dan Syariah

Avatar photo

- Editorial Team

Minggu, 5 Oktober 2025 - 13:00 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Ilustrasi yang menggambarkan “Permainan Moneter” di balik nilai Rupiah, dengan simbol tangan tak terlihat sedang menggerus nilai mata uang di tengah fluktuasi kebijakan suku bunga dan inflasi yang melambungkan harga kebutuhan pokok.

Ilustrasi yang menggambarkan “Permainan Moneter” di balik nilai Rupiah, dengan simbol tangan tak terlihat sedang menggerus nilai mata uang di tengah fluktuasi kebijakan suku bunga dan inflasi yang melambungkan harga kebutuhan pokok.

JATENG.NET — Pernahkah anda berpikir, mengapa nilai uang di dompet semakin menipis, sementara harga kebutuhan pokok terus melambung? Di balik fluktuasi nilai tukar rupiah, kebijakan suku bunga, dan wacana rupiah digital, tersembunyi sebuah “permainan moneter” yang sering kali tak terlihat oleh mata awam. Indonesia, dengan sejarah moneter yang penuh gejolak—dari hiperinflasi era 1960-an, krisis moneter 1998, hingga rencana Bank Indonesia meluncurkan digital rupiah—menjadi panggung utama di mana uang tidak hanya berfungsi sebagai alat tukar, tetapi juga sebagai instrumen kekuasaan. Artikel ini akan mengulas lebih dalam permainan moneter Indonesia melalui lensa ekonomi konvensional dan prinsip syariah.

Uang didefinisikan sebagai alat tukar, penyimpan nilai, dan pengukur kekayaan. Dalam sejarah, manusia menggunakan commodity money seperti emas dan perak yang nilainya intrinsik, sementara fiat money, seperti rupiah saat ini, hanya bernilai karena kepercayaan dan keputusan pemerintah. Perspektif syariah memunculkan perdebatan: apakah uang harus berbasis emas dan perak (seperti dinar dan dirham) sebagaimana pandangan ulama klasik, atau boleh mengikuti ‘urf (kebiasaan) seperti uang kertas? Contoh nyata kegagalan fiat money adalah hiperinflasi di Zimbabwe dan Venezuela, yang membuat uang kertas nyaris tak bernilai.

Banyak orang tidak sadar, inflasi itu sebenarnya seperti pajak terselubung. Nilai uangmu pelan-pelan tergerus tanpa kamu sadari. Harga cabai, telur, dan bensin naik, tapi nominal gajimu tetap sama. Akibatnya, kamu membeli lebih sedikit dengan jumlah uang yang sama. Itulah cara sistem “memotong” kekayaan masyarakat tanpa perlu mencabut pajak secara resmi.

Sejarah moneter Indonesia diwarnai oleh sejumlah “permainan” yang mempengaruhi stabilitas ekonomi. Hiperinflasi tahun 1960-an terjadi akibat pencetakan uang secara masif oleh pemerintah. Krisis 1998 memporak-porandakan nilai rupiah, memaksa Indonesia bergantung pada utang IMF. Di era reformasi, Bank Indonesia memainkan peran kunci melalui kebijakan suku bunga (BI Rate) dan intervensi kurs. Saat pandemi COVID-19, rupiah sempat melemah hingga Rp15.000 per dolar AS, memicu kepanikan pasar. Di balik layar, pemerintah menerbitkan obligasi, sementara investor asing dengan mudah masuk dan keluar pasar modal—sebuah permainan yang kerap mengorbankan stabilitas rupiah.

Nilai rupiah tidak cuma ditentukan oleh kebijakan dalam negeri. Dunia luar ikut main. Ketika Amerika Serikat menaikkan suku bunga, investor global buru-buru menarik dananya dari pasar Indonesia, bikin rupiah goyah. Jadi kadang, sekalipun pemerintah berusaha menjaga kestabilan, keputusan The Fed di Washington bisa mengguncang dompet orang Indonesia di Jakarta.

Di beberapa sektor, terutama migas dan perdagangan besar, transaksi masih banyak dilakukan dalam dolar. Fenomena ini disebut dollarisasi. Akibatnya, ketika dolar menguat, harga barang-barang di dalam negeri ikut naik. Indonesia seolah “menyewa” kestabilan dari mata uang negara lain—ironis untuk sebuah bangsa yang punya mata uang sendiri.

Baca Juga:  Program Poster Kosakata Bahasa Inggris: Media Edukatif untuk Anak SD

Islam menekankan prinsip keadilan, stabilitas, dan larangan riba dalam sistem moneter. Uang fiat yang rentan inflasi dinilai sebagai bentuk kezhaliman terselubung karena menggerus daya beli masyarakat—seperti ketika harga cabai melambung namun nilai tabungan tetap. Sebagai alternatif, syariah menawarkan sistem berbasis emas (dinar/dirham) atau instrumen keuangan syariah seperti sukuk (obligasi syariah), bagi hasil, dan zakat produktif. Meski Indonesia telah memiliki Bank Syariah Indonesia dan menerbitkan sukuk, sistem moneternya masih didominasi oleh riba dan fluktuasi buatan. Contoh sederhana: bagi hasil di bank syariah lebih adil daripada bunga tetap di bank konvensional.

Dalam pandangan Islam, uang seharusnya menjaga kemaslahatan, bukan menimbulkan ketimpangan. Prinsip maqashid syariah menekankan keadilan, keberkahan, dan perlindungan harta (hifz al-maal). Sistem berbasis riba membuat kekayaan terkonsentrasi di tangan segelintir orang, sedangkan konsep bagi hasil menciptakan keseimbangan: kalau usaha rugi, risiko ditanggung bersama; kalau untung, semua ikut menikmati.

Rencana peluncuran rupiah digital membawa harapan sekaligus kekhawatiran. Di satu sisi, transaksi bisa lebih cepat dan transparan. Di sisi lain, seluruh aliran uang bisa diawasi penuh oleh negara. Dalam pandangan syariah, ini menimbulkan pertanyaan etis: apakah transparansi bisa dijaga tanpa melanggar privasi dan kebebasan masyarakat?

Permainan moneter bukan cuma milik Indonesia. Malaysia berhasil menjaga ringgitnya tetap stabil dengan pengawasan ketat terhadap arus modal, sedangkan Turki berkali-kali terperosok karena suku bunga rendah dan inflasi yang tak terkendali. Dari dua contoh itu, terlihat bahwa kestabilan uang bukan soal agama atau ideologi, tapi soal keberanian mengambil kebijakan yang berpihak pada rakyat.

Uang di Indonesia tidaklah netral—ia adalah cermin dari kekuasaan dan kepentingan politik. Meski ekonomi modern sering bertabrakan dengan prinsip syariah, titik temu dapat ditemukan melalui inovasi sistem moneter yang berkeadilan. Peluang reformasi moneter berbasis syariah—seperti penguatan digital rupiah yang transparan atau integrasi instrumen syariah dalam kebijakan fiskal—masih terbuka lebar.

Permainan moneter Indonesia bukan sekadar soal angka, tapi soal kepercayaan. Dan kepercayaan terbesar dalam Islam adalah memastikan uang berfungsi sebagai alat keadilan, bukan alat penindasan.

Penulis: Nabila Hera Ramadhani, Mahasiswa Universitas Tazkia Bogor

Follow WhatsApp Channel www.jateng.net untuk update berita terbaru setiap hari Follow

Berita Terkait

Mahasiswa KKN UPGRIS Laksanakan Program Kerja Pendampingan TPQ di Desa Karangtengah
Mahasiswa KKN Tematik UPGRIS Kelompok 32 Desa Randugunting Gelar Pelatihan Pembuatan Sabun Cuci Piring Ramah Lingkungan 
Mahasiswa Kelompok 37 KKN UPGRIS Memeriahkan Karnaval di Desa Sraten
Meriah! Mahasiswa Kelompok 37 Expo KKN UPGRIS di Desa Kesongo Hadirkan Jalan Sehat, Senam, Kesenian Tradisional, dan Pameran UKM
Mahasiswa Kelompok 37 KKN UPGRIS Gelar Program Hijau, Serahkan Bibit Tanaman untuk Lingkungan Desa Tlogo yang Lestari
Bug Bounty dan Ji’ālah: Jalan Rezeki Halal ala Dunia Siber
Cegah Anemia, Mahasiswa KKN 25 UPGRIS Gelar Penyuluhan dan Pembagian Tablet Tambah Darah
Kolaborasi Mahasiswa KKN UPGRIS di Posyandu Edelweis, Perkuat Layanan Kesehatan Balita dan Lansia Kalisidi
Berita ini 17 kali dibaca

Berita Terkait

Selasa, 7 Oktober 2025 - 23:39 WIB

Mahasiswa KKN UPGRIS Laksanakan Program Kerja Pendampingan TPQ di Desa Karangtengah

Selasa, 7 Oktober 2025 - 13:53 WIB

Mahasiswa KKN Tematik UPGRIS Kelompok 32 Desa Randugunting Gelar Pelatihan Pembuatan Sabun Cuci Piring Ramah Lingkungan 

Senin, 6 Oktober 2025 - 15:03 WIB

Mahasiswa Kelompok 37 KKN UPGRIS Memeriahkan Karnaval di Desa Sraten

Senin, 6 Oktober 2025 - 15:00 WIB

Meriah! Mahasiswa Kelompok 37 Expo KKN UPGRIS di Desa Kesongo Hadirkan Jalan Sehat, Senam, Kesenian Tradisional, dan Pameran UKM

Senin, 6 Oktober 2025 - 14:58 WIB

Mahasiswa Kelompok 37 KKN UPGRIS Gelar Program Hijau, Serahkan Bibit Tanaman untuk Lingkungan Desa Tlogo yang Lestari

Berita Terbaru