JATENG.NET — Feminisme kini semakin mendapat perhatian dan pengakuan di seluruh dunia. Banyak yang menyebutnya sebagai gerakan yang mendorong perempuan untuk menjadi lebih kuat, lebih mandiri, dan lebih berdaya.
Iklan-iklan, media, dan kampanye digital semakin kerap mempromosikan citra perempuan yang kuat, dengan slogan-slogan empowerment yang menggema di setiap sudut. Feminisme seolah telah meraih kemenangan besar. Tapi apakah semuanya benar-benar sesuai dengan apa yang kita lihat di permukaan?
Di balik semangat pemberdayaan itu, ada satu hal yang sering luput: bagaimana sistem lama, yaitu patriarki, beradaptasi dengan wajah baru. Ia tak lagi melarang perempuan untuk maju. Sebaliknya, ia mendorong perempuan untuk “berdaya” — tapi hanya dalam batas-batas yang masih ia tentukan. Ini bukan feminisme. Ini patriarki yang menyamar.
Patriarki dalam versi terbaru tak lagi mengurung perempuan secara fisik. Ia menggunakan strategi yang lebih licik: memaksa perempuan untuk “bebas” — tetapi dengan definisi yang sudah disiapkan. Perempuan “ideal” hari ini harus kuat, sukses, produktif, cantik, tetap hangat, dan tidak terlalu marah. Harus mencintai diri sendiri, tapi jangan sampai terlihat “terlalu keras”. Harus bicara lantang, tapi tetap “elegan”.
Apa yang tampak seperti kebebasan sebenarnya adalah tekanan bentuk baru. Ini bukan lagi penindasan berbasis larangan, melainkan ekspektasi yang dibungkus dengan kata-kata manis. Ketika perempuan gagal memenuhi standar ini, bukan sistem yang disalahkan — tapi dirinya sendiri. Inilah bentuk kontrol yang paling halus dan paling menyakitkan: ketika penindasan membuat korbannya merasa bersalah.
Industri kecantikan, media hiburan, bahkan perusahaan teknologi mengadopsi simbol-simbol feminisme sebagai strategi pemasaran. Kaos bertuliskan “Powerful Woman” diproduksi massal oleh buruh perempuan dengan upah murah. Iklan body positivity dibuat oleh brand yang di saat bersamaan menjual produk pemutih kulit. Ini bukan pemberdayaan — ini komodifikasi perjuangan.
Di sinilah pentingnya membedakan antara feminisme sejati dan feminisme palsu. Feminisme bukan tentang menjadikan perempuan alat promosi dalam iklan — melainkan mendobrak sistem yang menindas semua perempuan, termasuk yang tak punya akses, kuasa, atau panggung.
Dan feminisme tidak pernah anti-laki-laki. Ia justru mengajak semua pihak — termasuk laki-laki — untuk keluar dari kerangkeng peran gender yang menyakitkan. Tapi selama patriarki terus mendominasi lewat wajah “progresif”, feminisme harus terus waspada.
Karena ketika lawan menyamar jadi kawan, maka perjuangan harus lebih cerdas — dan lebih tajam.
Referensi: https://journal.uinjkt.ac.id/index.php/psga/article/view/10403
Penulis: Sandrainy Munifa Aenur
Editor: Nur Ardi, Tim Jateng.net